Sabtu, 02 Mei 2020

Berani, Sampai dan Mau.



Peperangan Baratayudha antara Kurawa di Astina dan Pandawa di Amarta telah beberapa minggu di Kuru Ksetra.
Jagoan tanpa tanding Astina: Resi Bisma, pendeta sakti mandraguna disayangi para dewa, meninggal membayar hutang nasibnya pada seorang wanita yang dulu dia khianati cintanya demi keluarga.
Di Ruang Pertemuan Istana, Duryudana, Raja Astina, geram, gundah, gondok hatinya, marah rasanya pada keadaan. Resi Bisma, senopati kebal senjata, memiliki beribu kesaktian yang digadang-gadang dengan mudah memenangkan peperangan, ternyata kalah oleh seorang wanita, Srikandi.
Ia ingin bertanya dan bahkan mengutuk pada dewata, kenapa bisa jagoan tanpa tanding mati oleh wanita, dewa tidaklah adil, pikirnya. Membela Pandawa dan mengabaikan Kurawa.
Mertuanya, Prabu Salya, duduk di kursi kehormatan ditemani Adipati Karna dan Patih Sengkuni, dengan tenang memperhatikan menantunya itu.
Duryudana : "Dewa tidak adil, mban cinde mban ciladan,
Pandawa di mban cinde, Kurawa di mban ciladan.
Resi Bisma mati, senopati2 Astina sebelumnya juga sama. Kurang apa Resi Bisma, kesaktian, kewibawaan, kecerdasan, senjata para dewa dimiliki, tapi nyatanya malah kalah oleh wanita. Dewa jelas tidak adil.
Apa juga yang telah dilakukan para senopati-senopati Astina, tiap hari saya pikirkan nasibnya, saya cukupi kebutuhannya, pangkat, derajat saya berikan. Tapi mengalahkan pandawa satu saja tidak ada yang bisa. Malah mati satu demi satu, tidak ada guna."
Nada bicara Duryudana meninggi, memecah suasana yang telah hening sementara waktu.
Prabu salya berdiri dan mengelus pundak Duryudana.
Salya: "Ngger, Anak Raja, Prabu Duryudana. Tenangkan hatimu. Apa guna keluh kesahmu ditengah peperangan ini?
Astina sedang terdesak, posisinya sedang tidak berjaya, kalah dan kalah lagi dalam perang tanding antar senopati.
Tapi keluh kesahmu tidak mengubah keadaan, Ngger. Apalagi malah mencela para senopati yang telah melaksanakan kewajibannya membela negara, mempertaruhkan nyawanya.
Hidup itu, hanya dimulai dari lahir, melaksanakan kewajiban, hingga akhirnya mati. Para senopati Astina yang gugur, telah melaksanakan kewajiban tertingginya sebagai ksatria di medan laga. Tidak ada pada tempatnya dan tidak ada artinya anak prabu mengkritisinya.
Ngger, Anak Prabu. Bagi Salya, bekal hidup dan maju itu adalah tekad; Tekad untuk mengubah keadaan yang ada.
Dan untuk melaksanakannya ada 3 hal yang harus selalu diperhatikan: "keberanian", "sampai" dan "mau".
karena,
Ada orang yang berani, tapi tidak sampai ketujuannya.
Ada orang telah sampai, tapi malah tidak mau,
dan ada orang yang mau, tapi tidak berani.
ketiganya punya masalah masing-masing. Maka, apapun kondisi dan keadaannya harus selalu dipegang ketiganya.
Dalam kondisi susah berani, ketika senang pun berani.
ketika punya uang mau, ketika tidak punya uang juga mau.
berada dalam kemenangan berani, berada dalam kekalahan pun juga harus berani.
Kalau sudah memiliki tekad, mau kondisinya apapun ya berani dan mau. Entah sudah sampai atau belum sampai ke tujuan.
Tidak berguna berkeluh kesah, tidak mengubah keadaan. Malah memperkeruh fikiran, menghabiskan energi pada kerja yang tidak menghasilkan apa-apa.
Menerima dan memahami kondisi yang ada dan mengubah yang bisa dirubah dengan keberanian dan kemauan adalah keistimewaan yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya."
Prabu Salya panjang lebar menenangkan dan mengingatkan Prabu Duryudana.
Duryudana: "Inggih."
---===---
__Catatan sambil nonton ulang Bharatayuda Versi Jawa yang dibawakan Ki Seno___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar